PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat ilmu telah mengantarkan manusia pada perkembangan ilmu pengetahuan yang amat luas dan mendalam dari olah pikir manusia, Pemahaman kita tentang proses realitas atau alam semesta, melalui sebuah pemahaman pikiran manusia telah memberikan beberapa kajian tentang ilmu filsafat. Ilmu filsfat secara umum menjelaskan tentang beberapa paham yakni paham wujud (ontology), paham alam (cosmology), paham ilmu (epistemology), paham metodologi (methodology), dan paham nilai (value) dalam Islam.
Istilah ontologi atau paham wujud digunakan ketika kita membahas sesuatu yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Persoalan tentang ada menghasilkan cabang filsafat metafisika. Meta mempeunyai arti dibalik physika mempunyai arti benda-benda fisik atau nyata. Dari kata diatas dapat kita ambil sebuah pengertian sederhana dari metafisika yaitu kajian tentang sifat paling dalam dibalik sebuah kenyataan atau dari sebuah benda-benda fisik. Dalam kajian ini para filosof tidak mengacu pada ciri-ciri khusus dari benda-benda tertentu, akan tetapi mengacu pada ciri-ciri universal dari semua benda yang ada. Metafisika sebagai salah satu cabang filsafat mencakup persoalan ontologys, kosmologis dan antropologis. Ketiga hal itu memiliki titik sentral kajian tersendiri.
Ontologi merupakan salah satu caban filsafat ilmu yang paling kuno dan berasal dari yunani. Ontologi adalah sebuah cabang filsafat ilmu yang membicarakan atau membahas tentang sesuatu yang ada atau berdasarkan pada obyek kajiannya. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya secara kongkret, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan mengindera yang membuahkan sebuah pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Ontologi positivisme hanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar bila sesuatu itu dapat diamati dengan indera kita. Positivisme menolak yang dinyatakan. sebagai fakta tetapi tidak diamati oleh siapapun dan tidak dapat diulang kembali. Sesuatu akan diterima sebagai fakta bila dapat dideskripsikan secara inderawi. Apa yang di hati dan ada di pikiran, bila tidak dapat dideskripsikan dalam perilaku, tidak dapat ditampilkan dalam gejala yang teramati, tidak dapat diterima sebagai fakta, maka tidak dapat diterima sebagai dasar untuk membuktikan bahwa sesuatu itu benar. Apa yang di hati harus ditampilkan dalam ekspresi marah, senang atau lainnya yang dapat diamati (Muhadjir, 1998:68).
Dalam makalah ini akan memaparkan pembahasaan yang sangat menarik yakni tentang makna ontologi dalam filsafat islam. Dalam konsep Islam memberikan gambaran pada kita sebuah pandangan pada kajian Al-Quran dan Hadist. konsep filsafat islam yang dibangun berdasarkan pemahaman terhadap ajaran Islam atau berdasarkan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadist akan membuat kita tidak terjebak hanya pada satu pola filsafat saja atau hanya pada filsafat orang barat yang konseptualnya tidak dilandasi pada konsep keimanan.
- RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian dari ontologi menurut islam?
2. Bagaimana Objek Materi Ilmu menurut pandangan ontologi Qur’ani?
3. Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam filsafat Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ONTOLOGI PERSPEKTIF ISLAM
Mari kita simak ayat- ayat al-Quran sebagai berikut:
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. At-Thalaq (65): 12).
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Hadid (57): 3).
Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu. (QS. Az Zumar (39): 62).
Dengan tidak melepaskan diri dari landasan Al-Qur’an di atas dapat dikatakan bahwa sejauh kita akan berbicara apapun mengenai hakekat realitas sebagai realitas ciptaan Allah, maka pertama-tama, ia harus berangkat dari kepercayaan dan keyakinan bahwa adanya pencipta sebagai sebab keterciptaannya sesuatu yang ada didunia ini. Sudah pasti dan tidak bias dipungkiri bahwa pencipta bukanlah ciptaan itu sendiri, sebab hal tersebut adalah mustahil.
Islam memiliki pandangan bahwa ontologi itu tidak sekedar sesuatu yang tampak dan dapat dicerap oleh alam empiris, tapi lebih dari itu. Ada ”the ultimate reality” di balik yang empirik ini. Hakekat mutlak mendasari alam zahir; alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan-tumbuhan, dan alam-alam lainnya.
Paham wujud (ontologi) yang benar menurut Islam, seperti disebutkan di atas, adalah yang mendasari paham manusia tentang alam (kosmologi). Kosmologi Islam, adalah ilmu tentang ”kaun”, alam fisikal. Alam ini selalu bergantung kepada Allah Swt.
Setiap titik alam selalu merujuk dan menjadi ayat kepada Tuhannya. Jika kita melihat dalam pandangan ini hukum sebab akibatpun tidak bisa diakui. Konsep sebab-akibat mengimplikasikan proses yang independen dari Tuhan. Padahal tidak bisa demikian, karena hakekatnya semua yang ada tetap dibawa kuasa Allah sebagai sang pencipta dan yang mengatur alam semesta ini, bukan akibat di bawah dari sebuah sebag atau akibat dibawah akibat.
Guna menafikkan hukum sebab-akibat ini, merujuk kepada ulama’ besar dan tokoh filosof islam yakni Al-Ghazali. Ia mencontohkan bahwa peristiwa A (makan) dan B (kenyang) bukanlah sebab akibat. A dan B kejadiannya memang diatur terjadi serentak oleh Allah. Keduanya sama-sama diinginkan oleh Allah. Itulah hukum hukum kebiasaan yang diturunkan Allah. Karena orang yang makan nasi biasanya kenyang , tapi ada juga yang tidak kenyang, yang mungkin adat itu suatu waktu memang dicabut oleh Allah. Maka sunnatullah fil ardhi tidaklah dharuri (mesti).
B. OBYEK MATERI ILMU MENURUT PANDANGAN QURAN
Pengetahuan manusia pada hakekatnya hanya datang dari penguasa alam semesta ini yakni Allah Swt. yang didapati melalui beberapa saluran. Saluran ini pun masih terkait erat dengan paham manusia tentang wujud. Paham wujud ontologi islam memberikan pemahaman bahwa saluran ilmu bagi Islam terdiri dari:
Pertama, panca indera eksternal, yang meliputi peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing), dan penglihatan (sight);
Kedua, panca indera internal, yakni indera bersama (common sense atau al-hiss al-musytarak), representasi (representaion atau al-khayaliyyah), estimasi (estimation atau al-wahmiyyah), rekoleksi (retention/recollection atau al-hafizah/al-dhakirah), imaginasi (imagination atau al-khayal/al-mutakhalliyyah).
Menurut Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud, “Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang pada dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam mencapai pengetahuan tentang reality empiris”.
Dari uraian diatas bisa sedikit kita tarik sebuah garis pemikiran bahwa yang wujud atau yang ada itu tidak hanya sekedar fisik belaka tetapi transfisik atau metafisik. Alam fisik ini hanya pengejewantahan ’af’al sifat-sifat Allah yang metafisik. Allah pencipta dan alam ciptaannya. Allah kekal dan alam tidak kekal.
Bahwa memang bisa timbul kebingungan bagi sementara kalangan terhadap pandangan ontologi qurani yang telah dikemukakan diatas, khususnya bagi mereka yang sudah berpijak pada cara pandang ontologi filsafat Barat yang tidak didasarkan pada keimanan.
Pasti akan banyak pernyataan dari mereka yang berpijak pada cara pandang filsafat barat bahwa betapa mungkin alam gaib juga dinyatakan sebagai obyek materi ilmu sementara secara epistemologis, atau lebih khusus lagi secara metodologis tidak dimungkinkan adanya suatu alat verifikasi yang dapat digunakan secara bersama oleh semua orang. Misalnya, bagaimana menggunakan verifikasi untuk menguji kebenaran pernyataan mengenai hal-hal yang bersifat gaib.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi sebab dalam rangka verifikasi, dunia ilmu sekuler sendiri telah mengakui salah satu acuan verifikasi adalah pernyataan-pernyataan otoritas. Verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan obyek alam gaib, dapat dilakukan mengenai verifikasi rasional terhadap pernyataan-pernyataan doctrinal yang berkenaan dengannya, yang bersumber dari Allah sebagai sumber ilmu sendiri. Jawaban tersebut memang masih dapat menimbulkan pertanyaan selanjutnya, yaitu bagaimana mungkin itu dilakukan oleh mereka yang tidak mengakui adanya Allah? Jawabnya adalah, dengan melihat pada substansi pernyataan itu sendiri. Apakah ia memenuhi syarat untuk menjadi acuan dalam hal ini? Apakah ia dapat memberi penjelasan secara konsisten dan dapat diterima secara rasional oleh semua orang?
Pandangan ontologys tersebut melahirkan pandangan mengenai obyek materi ilmu dengan pernyataan singkat sebagai berikut:
1. Obyek ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib
2. Membangun pengetahuan ilmiah mengenai alam tersebut dilakukan dengan acuan petunjuk Allah Swt sebagai penciptanya.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian kita semua dalam memahami ontology dalam perspektif islam adalah bahwa pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya terpaku pada dunia empiric atau fiscal tetapi juga mencakup dunia ruh atau alam ghaib. Diri manusia sendiri adalah sebuah miniatur alam semesta ini yang tidak hanya terdiri atas jasad atau badan saja tetapi juga hati, perasaan, jiwa dan ruh yang merupakan “bagian” dari Tuhan. Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan dan kegeniusan pemikiran atau rasio saja tetapi harus dengan kesucian hati dan keimanan yang kuat.
C. TOKOH-TOKOH AHLI FILSFAT ISLAM
1. Al- Farabi
Berpendapat bahwa filsafat adalah paham dan mengetahui semua yang wujud karena ia wujud. (al-ilm bil maujudat bimahiya maujudah). Dalam pendapat Al- Farabi mempunyai tujuan terpenting dari mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan, bahwa ia Esa dan tidak bergerak, bahwa ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada dalam alam semesta ini, bahwa Tuhanlah yang mengatur alam ini dengan kemurahan dan kasih saying- Nya, kebijaksanaan dan keadilan-Nya, sehingga yang dapat dikatakan seorang filosof atau al hakim adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang Dzat yang ada dengan sendirinya (al-wajibli-dzatihi), Wujud selain Allah yaitu mahluk adalah wujud yang tidak sempurna.
2. Ibnu Sina
Filsafat ketuhanan menurut Ibnu Sina adalah:
a. Ilmu tentang turunnya wahyu dan mahluk-mahluk rohani yang membawa wahyu itu, dengan demikian pula bagaimana cara wahyu itu disampaikan, dati sesuatu yang bersifat rohani kepada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar.
b. Ilmu akherat (Ma’ad) antara lain memperkenalkan kepada kita bahwa manusia ini tidak dihidupkan lagi badannya, maka rohnya yang abadi itu akan mengalami siksa dan kesenangan.
3. Al Kindi
Beliau membagi filsafat 3 bagian:
a. Thibiyyat (ilmu fisika) sebagi sesuatu yang berbenda
b. Al-ilm-Urriyadli (matematika) terdiri dari ilmu hitung , tehnik, astronomi, dan musik, berhubungan dengan benda tapi punya wujud sendiri, dan yang tertinggi adalah
c. Ilm ur-Rububiyyah (ilmu ketuhanan)/ tidak berhubungan dengan benda sama sekali.
4. Ibnu Rusydi
Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rusydi dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195, Ibnu Rusydi menulis satu segi komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Semua komentarnya tergabung dalam sebuah versi Latin melengkapi karya Aristoteles. Komentar-komentarnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani. Analisanya telah mampu menghadirkan secara lengkap pemikiran Aristoteles. Ia pun melengkapi telaahnya dengan menggunanakan komentar-komentar klasik dari Themisius, Alexander of Aphiordisius, al Farabi dengan Falasifah-nya, dan komentar Ibnu Sina. Komentarnya terhadap percobaan Aristoteles mengenai ilmu-ilmu alam, memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan sebuah observasi.
5. Al Ghazali
Filsafat menurutnya dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian :
a. Aritmetik, geometri yang sah dan dibolehkan
b. Logika yang merupakan bagian dari teologi
c. Ketuhanan yang mendiskusikan zat dan sifat-sifat ilahi, yang juga merupakan teologi
d. Fisika yang bisa dibagi dalam 2 bagian: pertama yang terlibat dalam diskusi-diskusi yang bertentangan dengan syariah dan dengan demikian bahkan tak dapat dianggap sebagai ilmu , bagian lain mendiskusikan sifat-sifat tubuh, bagian 2 mirip dengan ilmu kedokteran , meskipun yang kedua lebih baik dari yang pertama, bagian fisika ini kurang berguna, sedang ilmu kedokteran sangat bermanfaat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan
Ontologi islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an memandang bahwa segala sesuatu selain Al-Khaliq (Pencipta) adalah Makhluq (ciptaan), sang pencipta sebagai sesuatu yang maha kuasa adalah pengatur alam semesta ini. Allah telah memberikan hukum-hukum keberadaan (Sunnatullah) pada alam semesta ini.
Objek filsafat ilmu bukanlah alam nyata atau alam yahadah saja tetapi menurut islam objek filsafat ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib dan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan ilmiah mengenai alam tersebut dilakukan dengan acuan petunjuk Allah Swt, sebagai Penciptanya.
Dalam Islam, ontologi itu tidak sekedar yang tampak dan dapat dicerap oleh alam empiris, tapi lebih dari itu. Ada ”the ultimate reality” di balik yang empirik ini. Hakekat mutlak mendasari alam zahir; alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan-tumbuhan, dan alam-alam lainnya.
Tokoh- tokoh ahli filsafat Islam adalah sebagai berikut:
1. Al- Farabi
2. Ibnu Sina
3. Al Kindi
4. Ibnu Rusydi
5. Al Ghazali
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Ma, Pengantar Filsafat Islam , Bulan Bintang Jakarta: 1990
H. Endang Saifuddin Anshari Ilmu, Filsafat dan Agama ,Bina ilmu Surabaya 1979
Sumber lain:
file:///E:/kul/pengantar filsafat/makalah-ontologi islam.htm
file:///E:/kul/pengantar filsafat/ontologi sesi islam.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar