Kamis, 13 Oktober 2011

Bukti-Bukti Adanya Tuhan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dalam Agama islam kita semua mengetahu bahwa rukun iman ada enam yakni iman kepada Allah, iman kepada malaikat- malaikat Allah, iman kepada kitab- kitab Allah, iman kepada rosul- rosul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodho’ dan qodhar Allah. Al-ilah berasal dari bahasa arab yang berarti Tuhan dalam bahasa Indonesia dan God dalam bahasa inggris.
Pada dasarnya fitrah manusia telah mengakui tentang adanya Tuhan, walaupun ia sendiri telah menyatakan diri sebagai seorang atheis atau komunis. Seorang atheis dan komunis mengatakan tidak ada Tuhan yang berarti, dibalik ucapanya itu ia mengatakan ada Tuhan tetapi dalam ketiadaanya. Ketika pecah perang dunia kedua ada suatu ungkapan yang popular bahwa didalam lubang- lubang perlindungan tidak ada penganut atheism. Ungkapan ini berarti bahwa jika manusia terjebak dalam situasi yang membahayakan jiwanya, tentu ia kmengakui adanya Tuhan (Kattsoff,1989:443)1)
Beriman bahwa Tuhan itu ada adalah iman yang paling utama. Jika seseorang sebagai seorang manusia sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu benar- benar ada, maka sesungguhnya orang itu dalam kesesatan yang nyata. Namun sering kita bertanya benarkah Tuhan itu ada? Padahal kita tidak pernah sama sekali melihat Tuhan. Kita juga tidak pernah sama sekali bercakap-cakap dengan Tuhan. Karena itu, tidak heran jika orang-orang atheist menganggap Tuhan itu tidak ada. Cuma khayalan orang- orang belaka.
Munculnya berbagai pertanyaan tentang Tuhan merupakan pencerminan kebutuhan manusia kepada Tuhan, kelemahan manusia dalam mengatasi persoalanya sendiri, dan juga ketidakmampuan manusia dalam mempersepsi dirinya sendiri. Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang pengertian Tuhan dan bukti- bukti adanya Tuhan.

  1. RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan latar belakang diatas yakni sebagai berikut :
  1. Apa pengertian Tuhan?
  2. Apa bukti- bukti adanya Tuhan?

  1. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk :
  1. Meningkatkan keimanan terhadap Tuhan
  2. Mengetahui pengertian Tuhan
  3. Memahami tentang bukti- bukti adanya Tuhan

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN TUHAN
Tentu definisi Tuhan yang paling tepat ialah yang kita diambil dari pemahaman akan pengertian Tuhan menurut apa yang telah dijabarkan di dalam al-Qur'an. Untuk itu, perlu kita sadari dua kenyataan terpenting, yang pasti akan kita peroleh apabila kita kaji dengan sungguh-sungguh kandungan al-Qur'an.
Yang pertama ialah di dalam al-Qur'an kita tidak pernah menemukan suatu ayat pun yang membicarakan atheist atau atheisme. Suatu hal yang kiranya sangat penting kita fikirkan mengingat kenyataan di zaman modern ini jutaan manusia telah menyatakan diri mereka sebagai "atheist" atau "orang yang tidak bertuhan". Setiap orang yang berideologi komunis mengaku, bahwa mereka tidak bertuhan (atheist).
Kenyataan kedua ialah, perkataan "Ilah", yang selalu diterjemahkan "Tuhan". Di dalam al-Qur'an dipakai untuk menyatakan berbagai objek, yang dibesarkan atau dipentingkan manusia. Misalnya, di dalam ayat Q. 45:23 dan Q.25:43.
"Tidakkah kamu perhatikan betapa manusia meng-ilahkan keinginan-keinginan pribadi mereka .?"
Dalam ayat Q. 28:38, perkataan "ilah" dipakai olch Fir'aun untuk dirinya sendiri: "Dan Fir'aun berkata: 'Wahai para pembesar, aku tidak menyangka, bahwa kalian masih punya ilah selain diriku'."
Dari contoh ayat-ayat tersebut di atas, ternyata perkataan "ilah" bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi)
maupun benda nyata (Fir'aun atau raja, atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Dari dua kenyataan di atas dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut: Tidak adanya perkataan atheist dan atheisme di dalam al-Qur'an membuktikan, bahwa tidak mungkin manusia itu tidak bertuhan.1)
Untuk dapat mengerti dengan tuntas akan masalah ini dapatlah kita buat definisi "Tuhan" atau "Ilah" yang tepat, berdasarkan logika al-Qur'an sebagai berikut:
Secara ethimologi Al Ilah terdiri dari A (alif), L (lam) dan H (ha) yang dalam kamus bahasa arab berasal dari kata Aliha – Yaklahu – Ilaha – Tan. Urainnya dapat dijabarkan sebagai berikut :
Alahtu kepada A : aku berlindung kepada A
Seorang laki- laki Aliha – Yaklahu : seorang laki- laki melindungi orang lain yang terkejut oleh suatu bencana
Alaha bayi yang sedang diceraikan ibunya : bila ia rindu ia hendak kembali pada ibunya “Alaha – Ilahatan dan Aluhatan artinya menyembah”
Ilahun : dapat berarti (Al Mahbub) sesuatu yang dicintai, Al- Marhub (sesuatu yang disenangi) dan (Al-Matbu) sesuatu yang diikuti dengan ketundukan)

Dari uaraian diatas maka ada dua kelompok yaitu yang butuh dan yang dibutuhkan. Kelompok pertama terdiri dari: aku, orang lain, bayi, penyembah dan pencinta. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari A, seorang laki- laki, ibu, sesuatu yang disembah dan sesuatu yang dicintai. Kelompok pertama beranggapan bahwa kelompok kedua memiliki kemampuan lebih dari pada dirinya sehingga kelompok pertama membutuhkan kelompok kedua.
Hal inilah yang selanjutnya menyebabkan kata Alaha- Yaklahu- Ilahatan dipakai dalam arti ibadah atau menghambakan diri. Kata Ilah berarti sesuatu yang disembah atau tempat penghambaan diri. 1)
secara ethimologi Al Ilah memiliki pengertianyang begitu luas maka untuk mempertegas dibutuhkan pengertian Al Ilah secara terminology :
Al-Ilah ialah sesuatu yang dipentungkan dan kepentinganya itu melebihi kepentingan terhadap hal-hal lain atau sesuatu yang mendominasi diri sehingga sesuatu itu dipuja, dijunjung tinggi, dan diberi kedudukan yang tinggi dari yang lain 2)
Al-ilah ialah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo'a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.3)
Maka dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa Tuhan atau dalam bahasa arah disebut Al Ilah adalah sesuatu yang dipuja dengan penuh kecintaan dan merendahkan diri, tempat memohon pertolongan dan bertawakkal serta sesuatu yang dipentingkan melebihi kepentingan hal- hal lain yang menimbulkan ketenangan disaat kita mengingatnya.
Berdasarkan definisi ini dapatlah difahami, bahwa tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheist, tidak mungkin tidak bertuhan. Berdasarkan logika al-Qur'an bagi setiap manusia mesti ada sesuatu yang dipcrtuhankannya. Dengan demikian, maka orang-orang komunis itu pun pada hakikatnya bertuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideology atau angan-angan (Utopia) mereka, yaitu terciptanya "masyarakat komunis, di mana setiap orang boleh bekerja menurut kemampuan masing-masing dan mendapatkan penghasilan sesuai dengan kebutuhan masing-masing",

B.     BUKTI- BUKTI ADANYA TUHAN
Mari kita simak cerita ini terlebih dahulu. Ada kisah zaman dulu tentang orang atheist yang tidak percaya dengan Tuhan. Dia mengajak berdebat seorang alim mengenai ada atau tidak adanya Tuhan. Di antara pertanyaannya adalah: `Benarkah Tuhan itu ada` dan `Jika ada, di manakah Tuhan itu?`
Ketika orang atheist itu menunggu bersama para penduduk di kampung tersebut, orang alim itu belum juga datang. Ketika orang atheist dan para penduduk berpikir bahwa orang alim itu tidak akan datang, barulah muncul orang alim tersebut.
`Maaf jika kalian menunggu lama. Karena hujan turun deras, maka sungai menjadi banjir, sehingga jembatannya hanyut dan saya tak bisa menyeberang. Alhamdulillah tiba-tiba ada sebatang pohon yang tumbang. Kemudian, pohon tersebut terpotong-potong ranting dan dahannya dengan sendirinya, sehingga jadi satu batang yang lurus, hingga akhirnya menjadi perahu. Setelah itu, baru saya bisa menyeberangi sungai dengan perahu tersebut.` Begitu orang alim itu berkata.
Si Atheist dan juga para penduduk kampung tertawa terbahak-bahak. Dia berkata kepada orang banyak, `Orang alim ini sudah gila rupanya. Masak pohon bisa jadi perahu dengan sendirinya. Mana bisa perahu jadi dengan sendirinya tanpa ada yang membuatnya!` Orang banyak pun tertawa riuh.
Setelah tawa agak reda, orang alim pun berkata, `Jika kalian percaya bahwa perahu tak mungkin ada tanpa ada pembuatnya, kenapa kalian percaya bahwa bumi, langit, dan seisinya bisa ada tanpa penciptanya? Mana yang lebih sulit, membuat perahu, atau menciptakan bumi, langit, dan seisinya ini?`
Mendengar perkataan orang alim tersebut, akhirnya mereka sadar bahwa mereka telah terjebak oleh pernyataan mereka sendiri.
`Kalau begitu, jawab pertanyaanku yang kedua,` kata si Atheist. `Jika Tuhan itu ada, mengapa dia tidak kelihatan. Di mana Tuhan itu berada?` Orang atheist itu berpendapat, karena dia tidak pernah melihat Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.
Orang alim itu kemudian menampar pipi si atheist dengan keras, sehingga si atheist merasa kesakitan.
`Kenapa anda memukul saya? Sakit sekali.` Begitu si Atheist mengaduh.
Si Alim bertanya, `Ah mana ada sakit. Saya tidak melihat sakit. Di mana sakitnya?`
`Ini sakitnya di sini,` si Atheist menunjuk-nunjuk pipinya.
`Tidak, saya tidak melihat sakit. Apakah para hadirin melihat sakitnya?` Si Alim bertanya ke orang banyak.
Orang banyak berkata, `Tidak!`
`Nah, meski kita tidak bisa melihat sakit, bukan berarti sakit itu tidak ada. Begitu juga Tuhan. Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya.` Demikian si Alim berkata.
Sederhana memang pembuktian orang alim tersebut. Tapi pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan adalah pernyataan yang keliru.
Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?
Betapa banyak benda langit yang jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?
Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada.
Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.
Kemampuan manusia untuk melihat warna hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula suara. Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat dilihat, tapi dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan frekuensi dan kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga ada yang mampu menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta! 1)
Segala sesuatu yang ada dialam ini seperti matahari, bulan, bintang, manusia, tumbuhan dan lain sebagainya itu selalu berubah- ubah dari tidak ada menjadi ada atau sebaliknya dari ada menjadi tidak ada.
1)        http://syiarislam.wordpress.com/2007/09/13/bukti-tuhan-itu-ada/
Juga semua yang berubah- ubah dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain sifatnya tentu ada sebab atau ada yang mengubah. Berarti ada yang mengadakan dan ada yang menjadikan. Tuhan itulah yang menjadikan alam sekalian ini dan yang menjadikan pula tabiat atau khasiat tiap- tiap yang ada dialam ini. Apabila dikatakan semua itu terjadi dengan sendirinya tentu akal tidak akan dapat menerima yakni mustahil namanya.
Apabila kita melihat kursi, meja, pesawat, kapal, kereta api dan apapun yang kita lihat sehari- hari pasti kita mempercayai barang- barang itu ada yang membuatnya, meskipun kita tidak melihat sendiri orang yang membuatnya dan meskipun seandainya kita juga tidak tahu bagaimana cara membuatnya1)
Jika benda-benda yang sederhana seperti diatas ataupun sebatang korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih kompleks. Coba kita perhatikan urain dibawah ini.

Bumi yang sekarang didiami oleh sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta kilometer panjangnya. Matahari, dan 8 planetnya yang tergabung dalam Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang tergabung dalam 1 `Cluster`. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya membentuk `Jagad Raya` (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar Tahun Cahaya! Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru sampai 15 Milyar Tahun Cahaya. 2)
Bayangkan, jika jarak bumi dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam 8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi kebesaran penciptanya.
Dalam Al Qur`an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:
`Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.` [Al Furqoon:61]
Ada jutaan orang yang mengatur lalu lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah di bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot, sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh, ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.
Sebaliknya, bumi, matahari, bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih (umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan. Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan (orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.
Maka dari sinilah kita menyakini dan membenarkan bahwa Tuhan itu benar- benar ada. Tuhanlah yang menciptakan alam semesta ini begitu juga Tuhanlah yang mengatur semuanya sehingga jagad raya ini bisa berjalan sesuai dengan aturanya, benda- benda langit yang beredar sesuai dengan orbitnya tanpa harus bertabrakan.
  
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Dari makalah dapat di ambil kesimpulan bahwa Tuhan yang dalam bahasa arab disebuh Al Ilah sesuatu yang dipuja dengan penuh kecintaan dan merendahkan diri, tempat memohon pertolongan dan bertawakkal serta sesuatu yang dipentingkan melebihi kepentingan hal- hal lain yang menimbulkan ketenangan disaat kita mengingatnya.

 Tuhan bisa kita buktikan adanya melalui ciptan- ciptaan-Nya dikarenakan panca indera kita tidak sanggup untuk menyaksikan adanya Tuhan. Adanya ala mini adalah bukti akan adanya Tuhan. Jika kursi atau meja yang sederhana saja kita percaya bahwa semua itu tidak ada dengan sendirinya namun ada yang membuat meski kita tidak menyaksikan siapa yang membuat, maka alam semesta yang amat rumit dan kompleks ini dibandingkan dengan sebuah kursi tentu alam semesta ini juga ada yang menciptkan. Dan yang menciptakan adalah Tuhan  yang dalam bahasa arab kita sebut Al Ilah dan bahasa inggris disebut God.
  
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid, Mufid, Suyoto, Tobroni, Nurhakim, Fathur Rahman, Al-Islam 1, LSI Kemuhammadiyahan UMM, Malang, 1996. Hal. 81

Dr. Yusuf Qardawi: "Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, (Haqiqat Al-Tauhid) terjemahan H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul Hikmah, Bima, hal. 26 - 27).

Zarkasyi, Imam, Usuludin. Trimurti, Ponorogo. 1994. Hal.24

Sumber lain :
file:///E:/kul/ilmu%20kalam/Tuhan.html


Makalah Piagam Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) UUD 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi persoalan. Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Wachid Hasjim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Berbagai macam pemahaman tentang hadirnya sebuah Piagam Jakarta yang telah dihasilkan oleh panitia Sembilan dalam musyawarahnya yang cukup rumit yang telah menjadi wakil akan seluruh rakyak Indonesia disaat itu. Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement Bangsa Indonesia.
Setalah disyahkannya Piagam Jakarta maka timbul pula beberapa sikap dari kelompok Katolik dan Protestan yang menyebabkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan dan diganti dengan kata baru. Maka Piagam Jakarta sampai saat ini perlu dipahami dengan pemahaman yang benar karena dari rumusan itulah muncul Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.




  1. RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Sejarah Piagam Jakarta?
2. Bagaimana Isi Piagam Jakarta?
3. Bagaimana sikap Kristen terhadap Piagam Jakarta?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      SEJARAH PIAGAM JAKARTA
Suatu fakta yang tak dapat dibantah oleh siapapun yakni andaikata Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnya di tahun 1945 mereka tidak menghasilkan konsensus nasional tentang sebuah Dasar Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam naskah Piagam Jakarta, maka Bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang ada saat ini.
Piagam Jakarta yang memuat dan berisi tentang rumusan resmi pertama kali sebuah Pancasila bagi Republik ini, disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, berikut nama- nama yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement bangsa Indonesia. BPUPKI adalah satu-satunya badan yang paling representatif untuk mewakili bangsa Indonesia ketika itu, baik dari segi keterwakilan suku, agama maupun aliran politik.
Piagam Jakarta dari segi substansi maupun spiritnya merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun sebagaimana diketahui sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret tujuh kata yang tertuang dibelakang kata Ketuhanan, yaitu, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Perubahan yang fundamental tersebut terjadi karena sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta yakni tanggal 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan dalam bunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka para wakil-wakil katolik dan protestan mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam saja. Bung Hatta kemudian menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal tersebut, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan.
Mantan Menteri Luar Negeri dan tokoh diplomasi kemerdekaan RI Mr. Mohamad Roem menulis, “Hilangnya tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.”
Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangat singkat itu, sungguh mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia.
Dalam kaitan ini Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyatakan, “Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan kalimat yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan ke DPR untuk diatur dalam bentuk Undang-Undang.
Dalam perkembangan politik nasional setelah Majelis Konstituante yang dibentuk berdasarkan Pemilu 1955 berlarut-larut dalam merumuskan perubahan UUD, Presiden Soekarno atas desakan TNI Angkatan Darat mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsiderans Dekrit 5 Juli tersebut, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar.

B.       ISI PIAGAM JAKARTA
Piagam Jakarta adalah hasil musyawarah tentang Dasar Negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Berikut adalah naskah piagam Jakarta :

NASKAH PIAGAM JAKARTA
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada :
  1. KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
  2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
  4. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 22 Juni 1945
  1. IR. SOEKARNO
  2. Drs. MOHAMMAD HATTA
  3. Mr. AA. MARAMIS
  4. ABIKUSNO TJOKROSURJO
  5. ABDUL KAHAR MUZAKIR
  6. H. AGUS SALIM
  7. Mr. ACHMAD SOEBARDJO
  8. WACHID HASJIM

C.      SIKAP KRISTEN TERHADAP PIAGAM JAKARTA
Setiap tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa  “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Namun kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, pada tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret  2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?”  Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.
“Hal ini perlu terus kita  ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,”[1]
Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”
Bagi umat Islam di Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal yang baru. Mereka berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.
Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan  bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945. Dekrit Presiden itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,”[2]
Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi terhadap Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian  kesatuan dengan UUD ’45.”[3]
Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh Muhammadiyah, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.”[4]
Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta. Ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah  PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.”[5]
Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.
Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.
Ridwan berpendapat, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.[6]
Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kaum penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam.  Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).”[7]
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga,  Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.”[8] 
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih.  Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29).[9]
Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu  bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.”  (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”
Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6).[10]
Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam  terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.
Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Piagam Jakarta merupakan rumusan resmi pertama kali Pancasila bagi Republik ini, disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, berikut nama- nama yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Piagam Jakarta merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan dalam bunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam saja. “Hilangnya tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar itu.Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangat singkat itu, sungguh mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang,1982.
Saifuddin Anshari, Endang, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP,

Sumber lain:





[1] Kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen Reformata edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret  2009
[2] Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang,1982.
[3] Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).
[4] (Ibid, hal. 135).
[5] (Ibid, hal. 138).
[6] Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007).
[7] (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).
[8]  (Ibid, hal. 94).
[9] (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).
[10] (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil?  Hal. 20)